Ringkasan Buku Dinamika Pendidikan Agama Kristen
PENDAHULUAN
Mereka yang bertanggung jawab atas asuhan Kristen menunjukkan keprihatinan bahwa hidup anak-anak harus berakar dalam persekutuan gereja, bahwa iman mereka harus dibangkitkan dengan mendengarkan injil, dan kehidupan mereka dibimbing oleh pekerjaan Roh Kudus. Itulah sebabnya pemahaman-pemahaman masa kini dalam penelaahan Alkitab dan teologia alkitabiah memperoleh tanggapan diantara para pekerja dalam bidang pendidikan agama. Banyak orang yang mencari jalan agar penghayatan iman Kristen, yang telah bermakna dalam kehidupan orang-orang yang terus bertumbuh.
BAB I
SEKOLAH DAN GEREJA
Untuk memahami makna pendidikan, kita harus melihatnya dalam wawasannya yang lengkap. Para pendidik yang peka menyadari bahwa kumpulan pengetahuan dan pengalaman umat manusia bukanlah satu-satunya ramuan untuk mengasuh anak-anak. Dalam tugas mereka harus pula tercakup suatu pemahaman akan faktor-faktor dalam hubungan antar-pribadi. Hasil-hasil penyelidikan psikologi menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan mencakup keutuhan pribadi dalam keseluruhan lingkungannya. Guru-guru sekolah yang baik, selalu sadar akan faktor-faktor demikian yang bekerja dalam tugas mengajar mereka, tetapi barulah dalam abad ini faktor-faktor tersebut diuraikan secara terinci.
Para pemimpin pendidikan gereja juga ikut merasakan keprihatinan rekan-rekan mereka dari kalangan pendidikan sekuler. Justru karena pendidikan budaya telah menjadi demikian luas, maka mereka yang berhubungan dengan tugas pendidikan gereja perlu berusaha memahami kesaksian gereja yang unik. Bila ada bidang-bidang dimana tugas-tugas pendidikan sekolah budaya dan gereja agaknya bertumpangtindih, hal itu mungkin karena masing-masing mempunyai penekanan yang berlainan, atau salah satu dari keduanya tidak sepenuhnya menyadari tanggungjawabnya yang khusus dalam bidang itu.
Konteks Pendidikan
Sekolah adalah lingkungan di mana anak-anak dari setiap generasi diajarkan tentang apa yang diharapkan dan dituntut oleh suatu kebudayaan. Sekolah-sekolah Amerika diciptakan oleh masyarakat setempat dan bertanggungjawab kepadanya. Semua kebudayaan mempunyai sekolah-sekolahnya dalam bentuk tertentu dan memberikan kepada sekolah-sekolah itu fungsi-fungsi khusus yang harus dilaksanakan bagi anak-anak mereka. Bahan pelajaran yang dianggap perlu, berlain-lainan sesuai dengan kebutuhan suatu masyarakat, dan berubah-ubah dari abad ke abad. Meskipun demikian perubahan dalam sepuluh atau dua puluh lima tahun mungkin begitu lambatnya hingga hampir-hampir tidak dapat dilihat. Sekolah-sekolah Amerika berkembang dari masyarakat, lahir karena kebutuhan masyarakat, dan direstui oleh oleh masyarakat, jenis “masyarakat”nya bisa yang berbeda-beda. Dalam polanya dewasa ini sekolah-sekolah itu pada umumnya dikuasai oleh kotapraja setempat, sementara Negara menentukan syarat-syarat minimum. Karenanya dapat dikatakan bahwa sekolah memperoleh “kedudukann”nya dari masyarakat dimana ia bertugas. Serentak dengan itu sekolah membantu mengembangkan pola-pola pemikiran masyrakat sekalipun sementara itu ia mengungkapkan pola suatu peradaban yang sedang berlaku.
Sekolah memperoleh seluruh mutu kehidupannya dari masyarakat jika kehidupan masyarakat itu penuh dan hidup, maka sekolah-sekolahannya pun akan hidup. jika masyarakatnya lemah dan miskin, maka sekolah-sekolahnya pun akan terbatas pula.
Pusat Proses Pendidikan
Tiap filsafat pendidikan mempunyai pusat. Pusat berkembangnya pendidikan budaya dewasa masa kini ialah manusia. Ini adalah fokus yang penting dalam suatu masyarakat yang humanistis dan sejajar dengan tradisi besar yang berakar pada kebudayaan Yunani klasik dan memasuki dunia modern melalui Renaissance, mengilhami kemajuan, baik dalam keseniaan maupun dalam ilmu pengetahuan. Pendekatan antroposentris ini beranggapan bahwa sumber kebebasan manusia ada dalam dirinya sendiri. Akar kebebasan cenderung dilihat sebagai kebebasan intelektual, kebebasan berpikir menurut pilihan setiap orang dan mengikuti jalan pikiran demikian.
Tulisan-tulisan Horace Mann, ahli pendidikan dari Massachusetts yang ternama di abad XIX, menunjukan bahwa bila pendidikan menjadi fungsi Negara, maka tidak ada niat untuk mempertentangkan sekolah dengan pengajaran keagamaan.
Dalam konteks Kristen ditegaskan bahwa manusia menemukan kebebasannya yang sepenuhnya melalui hubungannya dengan Allah. Kebebasan berarti kemampuan memilih. Dengan demikian manusia yang dihadapkan dengan Allah dapat memilih antara berhubunngan dengan Dia ataukah hidup tanpa Allah. Setiap pilahan mempunyai konsekuensi-konsekuensinya sendiri.
Dengan demikian konteks pendidikan ada dua pusat. Pendidikan budaya bersifat antroposentris, pendidikan gereja bersifat teosentris. Namun masing-masing mempunyai kesaksian bagi yang lainnya.
Norma bagi proses pendidikan
Norma itu memberikan titik acuan untuk memilih kurikulum maupun metodologi pengajaran. Sekolah budaya, yang ditempatkan dalam kerangka kerja masyarakat, dibentuk untuk membantu anak-anak bertumbuh untuk mengerti dan merindukan partisipasi dalam cara hidup yang dianggap paling baik dan benar. Di AS, hal ini berarti menjadi warga Negara dari Negara yang demokratis. Demokratis adalah suatu konsep dari cita-cita serta bentuk fungsi pemerintahan. Para pendidik menganggap cita-cita ini perlu dirumuskan bagi diri mereka sendiri sementara mereka mengusahakan sistim pendidikan yang dapat mencakupnya.
Demokrasi terutama dilihat dalam aspek-aspek sosialnya, dan disadari bahwa bentuk pemerintahan itu berkembang sebagai suatu cara untuk mengungkapkan dan memelihara cara hidup tersebut.
Pendidikan rakyat pertama-tama berkembang di belahan bumi bagian Barat, Amerika melalui koloni-koloni di New England, dimana sekolah-sekolah sudah tersedia bagi semua anak dan pendeta sekaligus menjadi guru sekolah. Pendeta prebisterian sampai sekarang ini masih disebut “penatua pengajar” suatu sebutan yang juga dikenakan kepada rekan-rekannya pendeta gereja kongresional di masa kolonial.
Bebarapa implikasi muncul dari norma demokratis dalam pendidikan. Satu diantaranya ialah bahwa demokratis dianggap sebagai dasar bagi keyakinan akan nilai pribadi manusia.
Konsep sebagai Landasan bagi Pendidikan
Suatu sistem pendidikan membutuhkan dasar konseptual, supaya cita-citanya dapat direalisasikan. Dasar pendidikan budaya dewasa ini terletak dalam konsep nilai moral dan rohani. Para pendidik sepakat dalam menegaskan bahwa inilah landasan yang padanya demokrasi dapat dipertahankan secara efektif sebagai suatu cara hidup . demokrasi bergantung kepada kualitas kehidupan bangsa, dan istilah “nilai-nilai moral dan rohani” melukiskan watak yang diperlukan dalam kehidupan tersebut. Nilai-nilai telah lazim dikenal sebagai hal-hal yang “benar, bagus dan baik” biasanya nilai-nilai ini mencakup prinsip-prinsip dari perintah kebaikan. Otoritas nilai-nilai itu terletak pada sanksi pragmatis dari keperluanya bagi masyarakat. Seperti dikatakan John S. Brucbacher:
“apabila hal-hal ini dapat dilihat sebagai hal-hal yang benar-benar menurut wawasan sifat insane manusia, maka kemungkinan-kemungkinannya tampaknya lebih memberi harapan bahwa di bawah bimbingan yang tepat kaum muda akan menerima nilai-nilai itu untuk mereja jalani.
Masyarakat gereja mempunyai suatu landasan yang padanya pendidikannya senantiasa berdiri: Alkitab. Seruan Reformasi, yang pertama-tama dicetuskan Martin luther, masih terus bergema dalam pasal-pasal tentang agama: Kitab suci memuat segala hal yang perlu bagi keselamatan.” Ini adalah pernyataan yang spesifik. Ia tidak menuntut kitab suci itu otoritatif bagi setiap tujuan yang baginya kitab suci itu tidak ditulis. Ia mendesak bahwa orang percaya tidak boleh dituntut untuk mencari dalam sumber-sumber di luar Kitab Suci hal-hal yang dengannya ia dapat diselamatkan.
Alkitab adalah kata-kata yang tertulis dalam sebuah kitab sejarah. Ia tidak berbicara langsung kepada umat manusia pada umumnya, tetapi pada orang-orang tertentu secara khusus. Ia tidak berbicara tentang “prinsip-prinsip yang kekal” melainkan memberikan perintah-perintah khusus dari Allah yang hidup.
Tujuan Pendidikan
Maksud utama dari pendidikan Budaya adalah mempersiapkan anak anda untuk hidup di dalam masyarakat dan bangsa. Dalam tahun-tahun belakangan ini orang telah mengakui bahwa kemampuan seseorang untuk menanggapi budaya disekitarnya tergantung pada kematangan pribadinya, pada kemampuanya untuk menerima dirinya dan diterima oleh orang lain. Semua pembinaan pribadi itu berlangsung dalam konteks kelompok, baik keluarga, lingkungan maupun sekolah.
Komisi kebijaksanaan pendidikan dari persatuan pendidikan nasional dan persatuan administrator sekolah seluruh Amerika, telah membentuk empat bidang sasaran dari pendidikan realisasi diri, hubungan manusia, efesiensi ekonomi dan tanggungjawab warganegara. Semua ini adalah bidang-bidang yang tempaknya penting dalam rangka kehidupan yang demokratis. Para penulis mengatakan bahwa pendidikan adalah kunci menuju kehidupan yang berkelimpahan. Ia dapat menolong siswa untuk memahami apa arti kebahagian yang sejati dan menolong mempermudah mewujudkan kebahagian itu.
BAB II
KONTEKS PENDIDIKAN KRISTEN
Ada banyak bidang pengetahuan mengenai gereja. Ada beranekaragam pola organisasi, bentuk-bentuk ibadah, dan makna-makna teologis. Namun demikian masih ada pula pemahaman-pemahaman dasar yang mempersatkan.
Fungsi persekutuan gereja yang organis mencakup penyusunan didache (pengajaran). Pengajaran ini berasal dari kerygma (pemberitaan) yang dasariah. Persekutuan yang hidup dari umat Allah dipersatukan, dan diproyeksikan ke masa depan, karena sejumlah perbuatan tertentu dari Allah yang penting baik bagi pribadi maupun bagi keseluruhan persekutuan tersebut.
Pemberitaan kabar baik itu sendiri merupakan pengajaran. Demikianlah bunyinya: zaman yang baru telah tiba. Yesus, yang dikirim oleh Allah, telah mengantarkanya melalui hidup, kematian dan kebangkitanNya.
BAB III
ISI PENDIDIKAN KRISTEN
Sejak mula gereja mempunyai sebuah pesan yang khas tantang Allah. Pesan itu tak mungkin sekedar kata-kata yang diucapkan dalam perjanjian, Taurat dan para nabi. Apabila demikian tentu orang-orang Yerusalem tidak akan mendengarkannya. Pesan itu tidak mungkin sekedar petunjuk-petunjuk rohani yang mendalam dari para filsuf. Apabila demikian tentu orang-orang di Efesus, Filipi dan Roma tidak akan mendengarkannya. Suatu penelitian yang hati-hati tentang pemberitaan itu menunjukkan sesuatu tentang bagaimana kata-kata itu berbicara tentang Allah kepada manusia.
Pertama-tama, ia adalah Allah yang hidup dan dikenal melalui pekerjaanNya. “Yesus dari Nazaret, seorang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu”
Karya Penyelamatan Allah
Injil dikenal melalui persekutuan gereja. Dalam perjanjian Baru, injil diidentifikasikan dengan ungkapan-ungkapan tertentu yang dengannya lah dinyatakan secara abstrak, melainkan di dalam suatu setuasi khusus.
Tindakan Allah berlangsung di dalam dan melalui persekutuan. Tindakan itu dilihat melalui hubungan manusia di dalam gereja itu dilihat melalui hubungan manusia di dalam gereja sebelum ia menghadapi pengamat diluar gereja. Orang datang ke gereja, karena mereka telah mengenal kasih Allah kepada mereka, memberitakan dan menyatakan melalui persekutuan Kristen.
BAB IV
MANUSIA DAN KOMUNIKASI
Berbalik ke dunia seni orang menemukan surrealism, kanvas-kanvas yang mekanistis serta desain-desain geomatris dari lukisan yang non-obyektif. Semuanya ini tampaknya menyatakan bahwa keberadaan manusia tidaklah bermakna, atau kacau sekedar rutin belaka. Manusia adalah sebuah obyek yang ditempatkan di tengah-tengah lingkungannya. Bila seseorang menemukan wajah manusia dalam sebuah lukisan, kemungkinan sekali lukisan itu menampakkan kerisauan perang ataupun kemiskinan dari suasana kelaparan, serta figure-figur kelas menengah yang mencerminkan ironi yang dipakai sang seniman untuk melukiskannya.
Komunikasi antara Allah dan Manusia
Gereja berusaha menghubungkan manusia dengan Allah sehingga ia boleh memenuhi karya penyelamatanNya di dalam mereka. hubungan ini diangkat dalam pengertian komunikasi. Allah tidak mempunyai daftar keperluan manusia dan suatu pengertian tentang apa yang Allah tewarkan kepadanya. Faktor-faktor pribadi ini harus dikumpulkan bersama sebelum karya penyelamatan Allah dapat dilakukan di dalam untuk manusia. Komunikasi adalah suatu masalah dalam segala bidang eksistensi masa kini. Perjumpaan demikian dengan Allah yang hidup mengubah keseluruhan hidup. dengan melihat diri sendiri dalam hubungan dengan yang Kekal, orang memahami norma yang sejati bagi eksistensinya.
Pemahaman-pemahaman ini termasuk dalam komunikasi injil. Hal ini lebih dari pada sekedar masalah meningkatkan teknik atau menemukan apa yang orang ingini agar kebutuhan itu dapat dipenuhi.
Pribadi sebagai Saluran Komunikasi
Mereka yang telah menemukan hubungan yang baru dengan Allah (melalui Kristus, di dalam persekutuan gereja) juga menemukan suatu hubungan baru satu sama yang lain. Mereka jauh dari status sebagai keberadaan yang tidak pribadi terhadap satu sama lainnya. Masing-masing menjadi pribadi yang lebih lengkap dari apa yang terima dan berikan kepada kehidupan orang lain. Maka gereja pun dapat sungguh-sungguh menjadi suatu persekutuan yang di tebus.
Mereka yang telah mengalami perubahan ini di dalam gereja dimampukan untuk menjadi penyalur pengaruh Allah yang menebus ini di dalam hubungan-hubungan yang lain dari kehidupan mereka.
BAB V
METODOLOGI
Media untuk komunikasi
Allah tidak hanya mengingini hubungan dengan ciptaanNya, Ia pun telah menciptakan cara-cara agar manusia dapat mengenal keinginan Allah tersebut, dan ditarik kepadaNya. Persekutuan Gereja dengan Tuhannya diungkapkan melalui ibadah, dan bentuknya sendiri merupakan pengungkapan dari komunikasi. Ibadah terdiri dari suatu yang Allah lakukan dan denganNya manusia member jawaban. Unsure-unsur yang membentuk ibadah menjadi eksistensial sejauh mereka menjadi tanggapan dari jemaat yang beribdah terhadap tindakan Allah sebelumnya dan kehadiran Kristus di antara umatNya.
Kredo atau konsesi, sebagai suatu kesaksian bersama dari umat di dalam persekutuannya, berkembang dari ibadah dan merupakan ungkapan ibadah. Pengakuan ini adalah tindakan yang begitu radikal dikalangan gereja purba sehingga para katekumen dituntut untuk segera meninggalkan ibadah sebelum pengakuan itu diucapkan.
Bagaimana Gereja Mengajar
Jawaban bagi kebutuhan manusia dapat muncul melalui persekutuan mereka telah menerima jawaban itu kedalam hidup mereka. hal ini dapat di pahami dalam abad XX, karena masa individualisme telah digantikan oleh suatu masa orang mencari jaminan keamanan mereka melalui kelompok. Kecenderungan-kecenderungan masa kini dalam psikologi pun setuju. Psikoanalisa menekankan kenyataan bahwa individu hanya mengenal dirinya sebagai seorang pribadi sejauh ia dapat mengidentifikasikan maupun memisahkan dirinya dari orang-orang sekelilingnya.
Teori-teori lapangan menggabungkan psikoanalisa dan Gestalt untuk mengamati interaksi kelompok.
Pemahaman tentang Mengajar
Sebagian pengajaran dilakukan oleh anggota-anggota tertentu yang dipilih gereja. Pribadi-pribadi dalam masyarakat melaksanakan pengajaran, dan dengan demikian mereka mewakili gereja dan berbicara atas nama gereja. Guru adalah memperantarai Injil. Tugas ini tak dapat dicapai dengan paksaan, melainkan hanya dengan kasih. Frobel dan Pestalozzi mewakili pemahaman demikian bagi mereka yang mengamati mereka. sejak saat itu pendidikan sudah sering berbeda bagi anak-anak. Meskipun si guru tak dapat mengetahui hasil akhirnya, ia dapat yakin bahwa keterlibatannya sendiri adalah sebuah faktor dalam hasil tersebut. Itulah sebabnya persekutuan Kristen membutuhkan guru yang telah mengalami sendiri pembaharuan hidup yang telah Allah berikan melalui Yesus Kristus, dan yang berserah kepada kerygma itu.
Setelah disadarkan akan kepenuhan kasih Allah di kayu salib dan peristiwa kebangkitan, mereka dimampukan mengajar di dalam kasih.
BAB VI
METODE-METODE YANG BERPUSAT
PADA KEHIDUPAN: PARTISIPASI
Metode-metode bagi pengajaran Kristen harus berpusat pada kehidupan. Istilah “berpusat pada kehidupan” telah digunakan semenjak pragmatisme menjadi suatu filsafat yang berkuasa di bidang pendidikan. Biasanya makna ini berarti “berpusat pada pengalaman”, dan acuan ini menyiratkan pengalaman masa kini. Hasilnya adalah suatu minat yang kuat tentang saat ini dan rencana-rencana yang jelas bagi masa depan, namun hanya memiliki pandangan yang terpecah-pecah mengenai masa lampau. Kini pandangan “berpusat pada kehidupan” memperolah makna yang lebih dalam melalui pemahaman-pemahaman para ahli filsafat teologi eksistensialis. Eksistensialis-lah, dan bukan keberadaan yang abstrak, yang dianggap penting.
Partisipasi melalui peristiwa-peristiwa sejarah
Partisipasi ialah suatu faktor sentral dalam pengajaran yang berpusat pada kehidupan, tetapi maknanya lebih dalam daripada yang biasanya dipahami dalam pendidikan. Kata ini bukan hanya berarti partisipasi pribadi dalam suatu situasi kelompok yang ada, meskipun itulah maknanya yang paling jelas. Partisipasi demikian dapat digalakkan melalui teknik-teknik yang telah dikembangkan pada tahun-tahun terakhir. Ada pula suatu tingkat partisipasi yang lebih jauh dimana diri itu memahami orang-orang yang dengannya ia berpatisipasi; dan di luar itu terdapat kemampuan untuk dengan orang-orang dalam peristiwa-peristiwa historis.
Ada kesejajaran tentang hal ini dalam pendidikan budaya dengan adanya penekanan baru-baru ini dalam hal pengajaran sejarah. Di dalam kerangka pemikiran pragmatis, sejarah “diletakkan pada tempatnya”.
Ingatan, suatu faktor dalam partisipasi
Ingatan adalah suatu fungsi penting dan jelas sekali hanya dimiliki manusia. Hal ini tidak begitu diakui dengan baik oleh para penulis dalam bidang pendidikan dari aliran eksperimentalis yang telah menganggap penalaran terutama merupakan kegiatan manusia. Tapi sejak karya psikologi dari Sigmund Freud, muncul kebutuhan untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh peranan ingatan dalam kehidupan orang dan kelompok. Ingatan memungkinkan kedewasaan, karena hal itu memberikan manusia pengertian tentang waktu.
Partisipasi Anak melalui pengalaman masa Kini
Di masa kini telah banyak dilakukan penelitian baru tentang kebutuhan, tugas dan kemampuan anak, dan para ahli belum mencapai kata akhir. Namun pendekatannya bersifat dinamis, pertumbuhan anak dilihat dalam arti keseluruhan pribadinya (organismis). perhatian khusus diberikan kepada peranan emosi dalam interaksi hidup keseluruhan. Perkembangan dipahami sebagai sesuatu yang sinambung, penuh rencana dan melibatkan keseluruhan pribadi. Lebih dari itu, dipahami pula apabila kebutuhan dan tugas dipenuhi selagi mereka muncul, tugas pertumbuhan akan jadi lebih sulit bagi orang yang terlibat maupun orang lain dalam keluarganya.
Penelitian menunjukkan bahwa anak mempunyai sejumlah kebutuhan dasar. Keprihatinan gereja dalam pengajaran terutama adalah kebutuhan-kebutuhan pribadi itu sendiri dan pribadi dalam hubungannya dengan orang lain.
Peranan Guru dalam Partisipasi
Guru adalah pembimbing serta sesame peserta dengan si anak. Ia mempunyai kebutuhan yang sama dengan si anak, meskipun hal ini diungkapkan dalam kerinduan mendesak lainnya. Ia pun mengenal rasa takut, membutuhkan teman, ingin mencapai sesuatu yang bermanfaat.
Kenyataan ini haruslah menolong dia untuk memahami si anak. Dengan pemahaman ini muncullah penerimaan. Si anak tidak “lebih baik” ataupun “lebih buruk” dari pada orang dewasa yang bekerja bersamanya dalam kehidupan gereja, meskipun ketika guru berbicara tentang masalah-masalah disiplin, seringkali muncul usaha untuk mencari-cari siapa atau apa yang dapat dipersalahkan. Si anak yang datang pada hari minggu pagi harus mampu mengharapkan suatu kesadaran tentang kebutuhan dan masalah-masalahnya dari mereka yang menjumpai dia sebagai guru-guru Kristen.
Seni sebagai Media untuk Partisipasi
Berbagai seni merupakan media untuk partisipasi: lukisan, musik, drama, puisi dan cerita. Semua ini dapat menghadirkan kegiatan Allah menurut Alkitab, kepada kenangan masa kini untuk memenuhi kebutuhan eksistensial si anak dalam persekutuan Kristen. Sang seniman besar melihat kedalaman hidup dan keutuhannya. Ia memiliki keahlian untuk menyampaikan pengertian ini dalam suatu bentuk konkret dan melalui bentuk itu orang lain dapat dilibatkan dalam penglihatanya yang mendalam itu. Seni yang besar tidak semata-mata bersifat faktual; malah ia sama sekali tidak perlu faktual.
BAB VII
METODE-METODE YANG BERPUSAT
PADA KEHIDUPAN :PENGAKUAN DAN KOMUNIKASI
Pengakuan sebagai Perjumpaan
Partisipasi adalah bentuk proses belajar yang terbuka bahkan bagi anak yang terkecil. Pengakuan adalah kesadaran yang muncul melalui partisipasi, tetapi yang adalah tanggapan pribadi pada pihak siswa. Hal ini adalah sikap hormat, karena disinilah yang bersangkutan mendengar namanya di panggil Allah dan memberikan jawaban.
Inilah yang disebut “perjumpaan” pertemuan antara Aku dan Engkau. Ini adalah pengakuan akan Allah yang pribadi, yang memperkenalkan kehadiranNya dalam sejarah : kesadaran bahwa dalam kebenaran Allah hadir bersama manusia. Alkitab banyak memberikan contoh. Dua orang di jalan ke Emaus berjalan bersama dengan Tuhan, tetapi tidak mengenal Dia sampai akhirnya ia memecahkan roti buat mereka.
Pengakuan sebagai Usaha Pemilikan
Tanggapan adalah pengakuan yang didalamnya seseorang menjadikan iman bagian dari dirinya dan kepunyaannya. Inilah keputusan yang dengannya orang menerima tanggungjawab di hadapan Allah. Sebuah kesejajaran dapat dilihat dalam pendidikan budaya di mana kita akui bahwa proses belajar belum berlangsung sebelum murid mengakui kegiatan atau pengalaman yang diperoleh. Menyadari tugas ini tidaklah cukup; harus pula terdapat kesediaan untuk mengarahkan segenap kekuatan kita kepada penyempurnaan.
Tanggapan, seperti hanya perjumpaan, adalah suatu tindakan idividu dimana persekutuan Kristen memberikan dorongan, tetapi juga di mana indvidu harus mengambil keputusan itu. Tanggapan dalam pengakuan dilihat sebagai iman, harapan dan kasih.
Komunikasi sebagai Perumusan dan pengungkapan Ide-ide
Komunikasi adalah usaha manusia untuk membentuk hubungan yang bermakna dengan sesamanya. Partisipasi membawa kepada pengakuan. Pengakuan berusaha agar ia diungkapkan. Ungkapan ini adalah komunikasi.
Tanggapan, yang dilihat sebagai partisipasi yang penuh hormat, mengungkapkan diri dalam ide-ide dan konsep-konsep tertentu. Hal ini menunjukkan hubungan antara kerygma dan apologia; gereja menjelaskan beritanya kepada diri sendiri dan orang lain. Iman mendahului usaha berteologia, sebagaimana tindakan mendahului penjelasan tentang tindakan tersebut.
Murid dalam Komunikasi
Para murid berkomunikasi dengan sesamanya. Mereka melakukanya dalam sejumlah cara. Mereka saling memberikan dorongan dalam pembentukan ide-ide yang didasarkan pada partisipasi yang penuh rasa hormat inilah tempat percakapan dan diskusi dalam pengejaran, percakapan berarti saling berbagi ide-ide, perasaan dan sikap. Inilah cara merumuskan pertanyaan dan memperjelas pemahaman. “partisipasi penuh hormat” adalah penting.
Kesadaran Diri Murid dan Mengatasi Diri
Cara-cara komunikasi untuk para murid dikembangkan ketika mereka manjadi cukup besar untuk mengenal diri dan mengatasi dirinya sendiri. Inilah saatnya ketika si anak dapat mulai merasa bebas karena ia mulai sadar akan dirinya sebagai pribadi yang bebas. Konsep diri telah melibatkan banyak penelitian dari psikolog. Sudah jelas bahwa pertumbuhan suatu citra diri yang realistis adalah juga salah satu tugas pertumbuhan. Penerimaan diri adalah cirri khas yang mewarnai reaksi-reaksi seseorang kepada situasinya.
Perbuatan dalam Komunikasi
Komunikasi Kristen juga berlangsung melalui perbuatan dan pelayanan kasih. Tampaknya hal ini banyak ditekankan dalam penulisan kurikulum belakangan ini; namun pada kenyataan, penekanan seperti ini masih menuntut pengujian. “Perbuatan penuh belas kasih” tidak berarti bahwa si anak diajarkan bahwa ia harus menolong karena Allah mengasihinya dan mengharapkannya membalas kasih itu dengan cara demikian. Kasih tidak ditunjukkan karena tuntutan, melainkan kerena orang yang mengasihi dan dikasihi itu tak dapat melakukan hal lain.
BAB VIII
FOKUS DI MASA DEPAN
Membuat pengajaran Relevan
Pengajaran muncul dari kerygma untuk mengasuh mereka yang masih kecil di dalam iman. Bila anak-anak bertumbuh selama bertahun-tahun tanpa mendengar kasih itu sama sekali, mereka perlu mendengar pemberitaan itu. Sejauh anak-anak memperoleh pendidikan budaya mereka dalam suatu kerangka sekuler, mereka perlu ditolong untuk memahami iman Kristen melalui bentuk-bentuk pemikiran yang mereka kenal. Belakangan ini, hal tersebut memberikan dasar-dasar teistis kepada pandangan dunia yang naturalistis.
Gereja dalam Kurikulum
Pendidikan Kristen perlu memandang gereja sebagai pusat lingkungan asuhan Kristen. Hal ini mencakup suatu pandangan terhadap gereja sebagai persekutuan yang beribadah. Bahan-bahan kurikulum sekarang ini telah menangkap nada perasaan gereja sebagai persekutuan manusia, ketimbang sebagai bangunan atau lembaga. Hal ini dijadikan hidup dalam buku-buku bacaan untuk anak-anak yang menolong mereka merasakan kehangatan dan keramah-tamahan yang hadir di dalam gereja.
Bila gereja dipandang sebagai suatu pusat lingkungan bagi asuhan Kristen, muncullah dengan jelas suatu tanggungjawab untuk memberikan si anak suatu rasa aman yang dasariah dengan menjadikannya bagian dari suatu persekutuan yang penuh pengertian.
Alkitab dalam Kurikulum
Asuhan Kristen harus mengambil secara lebih sungguh-sungguh pemahaman yang muncul dari studi-studi Alkitab masa kini. Bahan-bahan kurikulum menunjukkan bahwa penemuan-penemuan ilmiah abad XIX mengenai kritik teks dan kritik bentuk telah dipaduhkan kedalam bahan. Terdapat keprihatinan yang kuat bahwa anak-anak harus mengetahui bagaimana Alkitab berkembang, bagaimana kehidupan gembala berlangsung di Palestina purba, dan bagaimana kemungkinan cara hidup Yesus sebagai kanak-kanak.
Hubungan antara Allah dan manusia dalam kurikulum
Pendidikan Kristen perlu mempertimbangkan pandangannya tentang hubungan antara Allah dan manusia. Psikologi, filsafat dan literature modern yang menunjuk pada setuasi manusia modern. Pendidikan telah prihatin dengan kecemasan-kecemasan anak, kebutuhannya akan kasih, rasa aman dan penerimaan. Hal ini belum lagi tercermin dalam kadar apapun dalam bahan-bahan kurikulum sekolah gereja. Anak usia Taman kanak-kanak, seperti yang digambarkan dalam cerita pada umumnya jarang memberikan tanda-tanda apapun akan rasa cemas, permusuhan atau tidak aman.
Pemahaman tentang perilaku Kristen
Pendidikan Kristen perlu memikirkan ulang pengertiannya mengenai pengajaran mengenai perilaku Kristen. Sejumlah penyimpangan telah berkembang dari pandangan yang tampaknya terlalu banyak menekankan pengajaran Yesus sebagai suatu “hukum yang baru”. Pokok pandangan ini telah memungkinkan kita meringkaskan ucapan-ucapan tertentu Yesus dari konteksnya yang teosentris dan menempatkannya berdampingan dengan ucapan guru-guru lain, sehingga membuat Dia sebagai salah satu pembaharu dunia yang besar.
Sebuah koreksi bagi pandangan sepihak menganai cara hidup Kristen dapat diperoleh melalui suatu pemahaman mengenai hubungan antara kerygma dan didache. Tindakan penebusan Allah mendahului perbuatan-perbuatan kasih Kristen dan menghasilkan kuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan demikian.
Metode-metode Eksistensial untuk kurikulum
Pendidikan Kristen perlu mengambangkan metode-metode eksistensial untuk pengajaran. Pengajaran ini muncul dari penelitian-penelitian Alkitab yang baru. Alkitab dan teologia yang muncul dari padanya kini dipahami secara dinamis. Pengajaran yang sekedar pengulangan fakta-fakta tidak akan mengantarkan kuasa Injil, betapa pun hidupnya fakta-fakta itu disampaikan. Sebuah model tentang desa Palestina tidak akan membangkitkan iman atau pun mendukungnya.
Metode-metode pragmatis mempunyai keterbatasan untuk menghargai tempat hal-hal yang historis dalam pendidikan, karena mereka memandang sejarah terutama dalam arti nilai funsionalnya saat ini. Saohagolo..
Comments
Post a Comment