Makalah Sosiologi


 BAB  I
PENDAHULUAN

1. Definisi Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Dan bahkan komunikasi telah menjadi fenomena fenomena bagi terbentuknya suatu masyarakat atau komunitas yang terintegritas oleh informasi, di mana masing-masing individu dalam masyarakat itu sendiri saling berbagi informasi (information sharing) untuk mencapai tujuan bersama. Secara sederhana komunikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampai pesan dan orang yang menerima pesan. Senada dengan hal ini bahwa komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin “communis”.  Communis atau dalam bahasa Inggrisnya “commun” yang artinya sama. Apabila kita berkomunikasi (to communicate) ini berarti bahwa kita berada keadaan berusaha untuk menimbulkan kesamaan (Suwardi 1986:13).
Definisi lain tentang komunikasi seperti yang dikemukakan Moor (1993:78) adalah penyampaian pengertian antarindividu. Dikatakannya semua manusia dilandasi kapasitas untuk menyampaikan maksud, hasrat perasaan, pengetahuan dan pengalaman dari orang yang satu kepada orang yang lain. Pada pokoknya komunikasi adalah pusat minat dan situasi perilaku dimana suatu sumber menyampaikan pesan kepada seorang penerima dengan berupaya mempengaruhi perilaku penerima tersebut.
Komunikasi juga dipahami sebagai suatu bentuk komunikasi interaksi, yaitu komunikasi dengan proses sebab-akibat atau aksi-reaksi yang arahnya bergantian. (Mulyana, 2006:65). Dalam konteks ini komunikasi melibatkan komunikastor yang menyampaikan pesan, baik verbal maupun nonverbal kepada komunikan yang langsung memberikan respons berupa verbal maupun nonverbal secara aktif.  Theodorson (1969) selanjutnya mengemukakan pula bahwa, komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan symbol-simbol tertentu kepada satu orang atau kelompok lain. Proses pengalihan informasi tersebut selalu mengandung pengaruh tertentu. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik.[1]
I.2. Definisi Budaya
            Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari kata Sansekerta budhayah yaitu bentuk jamak kata budhi yang berarti budi dan akal.[2]
Budaya berkenan dengan cara manusia hidup. menusia belajar berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Ada orang-orang yang berbicara bahasa Tagalog, memakan ular, menghindari minuman keras terbuat dari anggur, menguburkan orang-orang yang mati, berbicara melalui telepon, atau meluncurkan roket ke bulan, ini semua karena mereka telah dilahirkan atau sekurang-kurangnya dibesarkan dalam suatu budaya yang mangandung unsure-unsur tersebut. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaiman mereka hidup dan berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan fungsi-fungsi dari budaya mereka.
            Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.

Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa yang bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya dan tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.[3]

 
BAB II
KOMUNIKASI INJIL PADA BUDAYA
 DAN ETNIK YANG BERBEDA

II. MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
a. Perwujudan Kebudayaan
            Beberapa ilmuwan seperti Talcott Parson (Sosiologi) dan Al Kroeber (Antropolog) menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan secara tajam sebagai suatu sistem. Dimana wujud kebudayaan itu adalah sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Demikian pula J.J. Honigmann dalam bukunya The World of Man (1959) membagi budaya dalam tiga wujud yaitu: ideas, activities, and artifact. Sejalan dengan pikiran para ahli tersebut, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebuyaan itu digolongkan dalam tiga wujud yaitu:
1.      Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan.
2.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3.      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
b. Substansi (Isi) Utama Budaya
            Substansi atau (Isi) utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam masyarakat yang memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk  atau berupa sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan.


 II. 2. SIFAT-SIFAT BUDAYA
            Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di Indonesia  yang terdiri dari berbabagai suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki cirri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki  yang berlaku umum bagi semua budaya di mana pun.
            Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain:
1.      Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.
2.      Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi  yang bersangkutan.
3.      Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
4.      Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.[4]

II. 3. KOMUNIKASI INJIL DALAM ETNIK YANG BERBEDA
Betapapun pentingnya pembebasan sosial, politik, dan ekonomi, misi jemaat tidaklah dimaksudkan terutama untuk hal itu. Tentu kesadaran orang Kristen terhadap masalah sosial, politik, dan ekonomi menjadi celik dan bangkit oleh ajaran dan pemberitaan Injil, sehingga mereka peka terhadap situasi nasional dan internasional (Matius 5:13). Garam berfungsi mencegah pembusukan. Kita juga, sebagai murid Kristus, harus bersikap tegas menentang kejahatan perseorangan, kejahatan sosial, dan struktural. Kita tidak dapat tinggal diam menyaksikan kejahatan dan ketidakadilan.
Tapi hal ini sekali-kali tidak berarti bahwa jemaat lokal harus mengorganisir dirinya menjadi organisasi massa yang terlibat dalam gerakan sosio-politik praktis. Kendati Tuhan Yesus sendiri mengajar para murid-Nya menentang kejahatan dalam bentuk apa pun, Ia tidak pernah mengarahkan atau merekayasa mereka untuk terjun ke dalam gerakan praktis politik pembebasan untuk menentang pemerintah Roma, atau ke dalam gerakan sosial melawan para tokoh agama Yahudi. Menjadi garam dunia adalah bagian dari pemuridan Kristen yang dituntut dari setiap warga jemaat lokal. Namun menggarami dunia bukan merupakan bagian dari Amanat Agung yang Kristus berikan kepada seluruh gereja-Nya.
a. Injil melalui keprihatinan sosial.
Jemaat harus peka terhadap masalah kelaparan, kemiskinan, dan penderitaan di dunia ini. Dan jemaat wajib terlibat berkorban untuk melayani masyarakat yang membutuhkan pertolongan. Tuhan Yesus berkata, 'Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri' (Matius 22:39). Untuk mematuhi perintah ini, setiap warga jemaat lokal wajib memperhatikan kebutuhan jasmani masyarakat sekitarnya. Jemaat sebagai satu kesatuan yang utuh wajib terlibat dalam upaya mencukupi kebutuhan mereka. Hanya melalui pelayanan nyata dan dengan kerendahan hati, kesaksian verbal dari jemaat memperoleh pengakuan. Namun pelayanan demikian pada dirinya bukanlah penggenapan misi jemaat lokal. Jemaat lokal harus memberikan kesaksian verbal, yakni memberitakan Injil kepada masyarakat sekitarnya.
Penginjilan bukanlah kegiatan yang setara dengan keprihatinan sosial. Memang ada penginjil yang menyatakan bahwa penginjilan dan keprihatinan sosial adalah sama. Hal itu tidak benar dan tidak alkitabiah. Alkitab mengajarkan betapa hal yang rohani jauh lebih penting daripada yang jasmani dan yang sosial. Keselamatan yang Yesus berikan kepada manusia seperti yang dibicarakan dalam Alkitab adalah keselamatan rohani. Keselamatan dari dosa dan yang menuntut kita kepada hidup persekutuan dengan Allah dan taat kepada kehendak- Nya. Justru kewajiban memberitakan Injil untuk menghimbau orang supaya percaya kepada Kristus, menjadi murid-Nya dan bergabung dalam jemaat-Nya adalah yang terpenting. Hal itu sekali-kali tidak dapat dianggap sama dengan bantuan dana dan pembangunan atau pelayanan sosial.
b. Injil melebihi keterlibatan lokal.
Pendapat umum mengatakan, bahwa tuntas sudah kewajiban seorang Kristen bila ia aktif terlibat dalam kegiatan penginjilan terhadap masyarakat di sekitarnya. Tidak perlu lagi terlibat dalam upaya penginjilan terhadap masyarakat yang berbeda budaya, bahasa dan negeri. Konsep pemikiran demikian adalah keliru.
Mengamati Amanat Agung Kristus, kita temukan ungkapan-ungkapan: 'semua bangsa' (Matius 28:19); 'segala makhluk' (Markus 16:15); 'segala bangsa' (Lukas 24:47); 'ke dalam dunia' (Yohanes 17:18); 'ke ujung bumi' (Kisah 1:8). Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa murid-murid-Nya harus menuntaskan dulu penginjilan di Yerusalem baru kemudian bergerak ke Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi. Kata penghubung 'dan' menunjukkan bahwa kesaksian Kristen itu harus serentak dilakukan di Yerusalem, Yudea, Samaria, dan di ujung bumi. Jemaat yang punya kemampuan tapi tidak melibatkan diri dalam upaya penginjilan lintas budaya (setidak-tidaknya melalui dukungan doa), belum menggenapi misinya sebagaimana mestinya.
Konstitusi Gereja India Selatan mengemukakan hal ini dengan tepat sekali. 'Setiap warga jemaat Allah wajib menunaikan misinya di lingkungannya, bahkan sampai ke ujung bumi'.
c. Injil bisa masuk melalui Politik
Warga yang ideal dari suatu jemaat lokal peka terhadap isu politik, ketidakadilan sosial-ekonomi, dan penindasan. Mereka bangkit menentang sekaligus memperbaiki kebobrokan demikian, sesuai tanggung jawab moral kristianinya. Jemaat wajib terlibat melayani kebutuhan masyarakat. Dalam rangka pemuridan yang bertanggung jawab dan pelayanan, jemaat memproklamirkan Injil kepada lingkungannya dan terlibat dalam penyebaran Injil kepada segala bangsa di bumi.
Kita tidak menganggap keprihatinan sosial berbeda dan terpisah sama sekali dari penginjilan. Penginjilan yang efektif dan yang mendampakkan kemuliaan bagi Kristus, dapat terjadi hanya di tengah-tengah pelayanan sosial yang tulus. Kendati demikian keprihatinan sosial dan penginjilan tidaklah setara dan sama. Dalam misi jemaat lokal, penginjilan (yakni penginjilan pada masyarakat sekitar) adalah yang utama. 'Pelayanan penginjilan adalah misi utama jemaat yang penuh pengorbanan. Penginjilan dunia menuntut seluruh gereja untuk memberitakan Injil seutuhnya kepada dunia. Gereja adalah pusat tujuan Allah dan sarana yang dipilih Allah untuk menyebar-luaskan Injil' (Lausanne Covenant).
d. Hasil dari pada pemberitaan Injil yaitu mendirikan jemaat.
Misi jemaat lokal tidaklah melulu pemberitaan Injil. Dalam misi itu tentu termasuk rencana mendirikan jemaat-jemaat di tengah-tengah permukiman masyarakat, kepada siapa Injil itu diberitakan. Misi jemat lokal ialah penginjilan dengan rencana mendirikan jemaat-jemaat di wilayah sekelilingnya dan di dunia. Jemaat lokal menghadirkan dirinya di wilayah sekelilingnya dan di lapangan misinya. Tokoh-tokoh jemaat Yerusalem berpencar akibat penganiayaan. Beberapa di antara mereka berasal dari Kirene dan Siprus. Mereka ke Antiokhia, mengabarkan Injil dan mendirikan jemaat di sana. Inilah pola misi yang alkitabiah. Tujuan misi ialah mendirikan jemaat Yesus Kristus di tempat-tempat di mana belum ada jemaat. Jemaat adalah pusat tujuan misi Allah. 'Supaya sekarang oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga.' (Efesus 3:10)
Jemaat adalah tanda dan 'panjar rasa' dari Kerajaan Allah, yang menjadi tujuan akhir dan harapan kita. Kerajaan Allah bukanlah kerajaan utopia yang didirikan oleh kemelut pertarungan manusia melawan pemerintah-pemerintah yang lalim. Kerajaan Allah adalah Kerajaan rohani, yang bertumbuh bila jemaat didirikan di antara bangsa-bangsa di dunia ini, dan bangsa-bangsa serta suku-suku bangsa tunduk di bawah kedaulatan pemerintahan Allah. Selanjutnya, melalui campur tangan Allah yang supra-alami, Kerajaan Allah dalam ujudnya yang terpadu seutuhnya akan dinyatakan di dunia ini.
Dalam hal ini kita hanya membicarakan penginjilan lintas budaya, dan menyebutnya 'misi'. Misi ini selalu menghadapi kendala-kendala baru. Sekelompok masyarakat dengan bahasa, budaya, etnis atau sosial yang berbeda, bukan saja ada di daerah pegunungan, hutan dan lembah terpencil, tapi juga di kota-kota besar dan kecil. Misalnya, orang Sindhis di kota-kota India. Mereka masyarakat minoritas yang erat ikatan kekeluargaannya, dan umumnya hidup berdagang. Memang, beberapa orang Sindhi telah menjadi Kristen, tapi sampai sekarang, di manapun di dunia ini, belum ditemukan satu pun jemaat Kristen Sindhi. Hal yang sama terjadi pula di Indonesia. Masyarakat Suku Sakai, Suku Sasak, misalnya, masih belum terjangkau Injil. Demikian juga pedagang Cina di kota-kota di Riau kepulauan dan di pulau-pulau lain di Indonesia Timur. Padahal di kota-kota itu ada gereja.
Pengertian yang benar dan alkitabiah akan menolong kita mengerti misi alkitabiah. Jemaat lokal merupakan sarana untuk memasuki misi lintas budaya. Tujuan seluruh tugas misi adalah untuk mendirikan dan membina jemaat. Tugas misi lahir dari keprihatinan orang percaya akan pertumbuhan dan kesempurnaan gereja universal milik Kristus. Untuk mencapai pelayanan misi yang efektif, maka misi harus berpusat pada jemaat. Tujuan utama misi adalah untuk membangun jemaat. Tujuan akhir pelayanan misi harus mengarah pada pembangunan dan penyempurnaan masyarakat sorgawi yang baru, warga baru Kerajaan Allah yang mandiri.[5]

 
BAB III
GEGAR BUDAYA DAN MASALAH PENYESUAIN
DIRI DALAM LINGKUNGAN BUDAYA BARU


III.1. Definisi Gegar Budaya
            Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan keluar negeri. Sebagaimana kebanyakan penyakit lainnya, gegar budaya juga mempunyai gejala-gejala dan pengobatannya tersendiri.
            Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan  yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri sindiri dalam menghadapi situasi sehari-hari: kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita katakana bila kita bertemu dengan orang, kapan dan bagaiman memberikan tip, bagaimana  berbelanja, kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan membuat pernyataan-pernyataan dengan sungguh-sungguh dan kapan sebaliknya. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalan hidup kita sejak kecil, begitu pula aspek-aspek budaya kita lainnya seperti bahasa kita dan kepercayaan yang kita anut. Demi ketentraman hidup, kita semua bergantung pada berates-ratus petunjuk ini, petunjuk ini yang kebanyakannya tidak kita bawa dengan sadar.
            Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Meskipun anda berpikiran luas dan beritikad baik, anda akan kehilangan pegangan, lalu anda akan mengalami frustrasi kecemasan.  Biasanya orang-orang menghadapi frustrasi dengan cara yang hampir sama. Pertama-tama, mereka menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan. “Adat kebiasaan negeri pribumi itu buruk, karena adat kebiasaan tersebut menyebabkan kita merasa tidak nyaman.” Bila orang-orang asing disuatu negeri berkumpul bersama mengomeli negeri pribumi dan penduduk pribuminya, anda boleh percaya bahwa orang-orang tersebut sedang menderita gegar budaya.[6]
III.2. Pengalaman Lintas Budaya
a. Teori Utama
            setiap orang mempunyai suatu sistem pengetahuan dari budayanya berupa realitas yang tak pernah dipersoalkan lagi (Schutz, 1970). Realitas ini menyediakan skema interpreatif bagi seseorang untuk menafsirkan tindakannya dan tindakan orang lain. Sistem makna cultural antara lain merupakan aturan budaya (cultural rules) dan tema nilai (value themes).
            Aturan budaya memiliki tiga ciri. Pertama, aturan adalah proposisi-proposisi yang membimbing tindakan ((Herre dan Scored, 1972). Aturan itu memberi resep budaya bagi tindakan.
b. Hasil Pertemuan Antarbudaya
            Hasil pertemuan lintas budaya bisa positif atau negatif. Segi positifnya, setiap pertemuan menyediakan kemungkinan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran budaya. Segi negatifnya, pertemuan itu bisa memperteguh stereotip-stereotip budaya yang negative dan bisa menimbulkan pengalaman gegar budaya. Kadang-kadang akibatnya bisa lebih serius, bila mahasiswa Indonesia tidak menguasain aturan-aturan belajar di universitas, kemungkinan gagal dalam ujian lebih besar lagi (Neosjirwan, 1970).
            Pertemuan lintas budaya mungkin sulit dilakukan karena perbedaan dalam struktur makna budaya, namun ia bukan tidak dapat diatasi. Pertemuan lintas budaya juga mungkin menimbulkan lebih banyak problem lagi karena masing-masing peserta bereaksi terhadap akibat pertemuan itu. Pertemuan mungkin menimbulkan suatu lingkaran umpanbalik negatif, sejenis lingkaran setan. Ia sangat bergantung pada bagaimana masing-masing pemain bereaksi terhadap stres.


BAB IV
PENUTUP

IV.1. Kesimpulan
            Dalam penulisan makalah ini sangat banyak yang harus kita perhatikan baik dari  pengertian komunikasi, dan budaya. Dan bagaimana injil itu diberitakan kepada orang yang akan di Injili meskipun dalam budaya dan etnik yang berbeda. Tetapi dengan cara-cara diatas kita dapat melakukan pemberitaan Injil itu kepada orang lain meskipun di daerah baru sekalipun. Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di Indonesia  yang terdiri dari berbabagai suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki cirri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki  yang berlaku umum bagi semua budaya di mana pun.
            Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di Indonesia  yang terdiri dari berbabagai suku bangsa yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal. Di mana sifat-sifat budaya itu akan memiliki ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkungan alam, atau pendidikan. Yaitu sifat hakiki  yang berlaku umum bagi semua budaya di mana pun.
IV.2. Saran
            Dalam makalah ini, penulis memberi saran kepada para pembaca supaya dengan cara-cara yang telah penulis cantumkan di dalam makalah ini, bisa dipahami dan dimengerti oleh setiap mereka yang telah membaca. Dan juga meminta supaya dengan makalah ini, kita sebagai murid-murid Kristus dapat melaksanakan amanat agung itu. Dan dengan cara-cara penginjilan yang telah dibahas dalam penulisan ini. Kita dapat memenangkan banyak jiwa untuk Kristus, dan membentuk suatu komunitas kecil atau perkumpulan dalam hal membahas kebenaran Firman Allah yang terdapat dalam Alkitab. Tuhan Yesus Memberkati.
DAFTAR PUSTAKA

H. Syaiful Rohim,
2009                Teori Komunikasi. Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Deddy Mulyana,
2006                Komunikasi Antarbudaya Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 

Theodore Williams,
1998                Misi dan Jemaat Lokal. Jakarta :Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.

Elly M. Setiadi,
2006                Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.



[1] H. Syaiful Rohim, Teori Komunikasi. Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009) hal. 8-11.
[2] Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) Hal.27.
[3] Deddy Mulyana, Komunikasi Antarbudaya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). Hal 18-19.
[4]Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) hal 27-33.
[5] Theodore Williams, Misi dan Jemaat Lokal. Jakarta :Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,  1998) hal. 8-14.
[6] Ibid, Komunikasi Antarbudaya. Hal 174.

Comments

Popular posts from this blog

RINGKASAN BUKU PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DR. E. G. HOMRIGHAUSEN DAN DR. I.H. ENKLAAR

Ringkasan Buku Dinamika Pendidikan Agama Kristen

RINGKASAN BUKU TEOLOGI PERJANJIAN BARU DONALD GUTHRIE